BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Banyak berbagai definisi tentang kebudayaan yang
telah di paparkan oleh para ahli. Dari berbagai definisi dapat diperoleh
kesimpulan mengenai pengertian kebudayaan yaitu sesuatu yang akan memengaruhi
tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam
pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat
abstrak. Kata budaya atau kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa Sanskerta
yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan
sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Secara lebih
rinci, banyak hal-hal yang dapat kita pelajari tentang definisi kebudayaan.
Bagaimana cara pandang kita terhadap kebudayaan, serta bagaimana cara untuk
menetrasi kebudayaan yang faktanya telah mempengaruhi kebudayaan lain.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan rumusan masalah dari makalah ini adalah
bagaimana Hubungan Budaya berdasarkan kepatuhan ?
C.
Tujuan
dan Manfaat Penulisan Makalah
Adapun tujuan dan manfaat penulisan makalah ini adalah
untuk mengatahui dan menjelaskan mengenai budaya berdasarkan keptahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fungsi Kepatuhan
Fungsi
Kepatuhan adalah serangkaian
tindakan atau langkah-langkah yang
bersifat ex-ante (preventif) untuk
memastikan bahwa kebijakan,
ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang
dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk sesuai dengan
Prinsip Syariah (bagi
Bank Umum Syariah dan
Unit Usaha Syariah),
serta memastikan kepatuhan Bank
terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank
kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.
Pokok
pokok pengaturan Peraturan
Bank Indonesia (PBI)
Pelaksanaan Fungsi Kepatuhan Pada
Bank Umum adalah:
a. Fungsi kepatuhan
merupakan bagian dari
pelaksanaan framework manajemen risiko. Fungsi
kepatuhan melakukan pengelolaan
risiko kepatuhan melalui koordinasi dengan satkerterkait.
b. Pelaksanaan
fungsi kepatuhan menekankan pada peran aktif dari seluruh elemen
organisasi kepatuhan yang
terdiri dari Direktur
yang membawahkan Fungsi Kepatuhan, Kepala
unit kepatuhan dan
satuan kerja kepatuhan
untuk mengelola risiko kepatuhan.
c. Menekankan
pada terwujudnya budaya kepatuhan dalam rangka mengelola risiko kepatuhan.
d. Kepatuhan
merupakan tanggung jawab personil seluruh bagian dari bank dengan tone from the
top.
e. Status independensi
yang disandang dari
elemen organisasi fungsi
kepatuhan dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan tugas
dan menghindari konflik kepentingan (conflict of interest).
Kepatuhan terhadap hukum, norma-norma dan
aturan-aturan membantu memelihara reputasi
bank-bank, sehingga sesuai
dengan harapan dari
para nasabah, pasar
dan masyarakat secara keseluruhan. kepatuhan akan berhadapan
langsung dengan apa yang dikenal dengan compliance risk yang didefiniska oleh
Basel Commitee on Banking Supervision
sebagai risiko hukum atau sanksi-sanksi
hukum, kerugian keuangan/materi atau
tercermarnya reputasi bank sebagai
akibat dari pelanggaran
terhadap hukum, regulasi-regulasi, aturan-aturan, dihubungkan dengan norma-norma
organisasi yang menjadi aturan internal
suatu bank.
Sementara
Bank Indonesia (BI) mendefiniskan risiko
kepatuhan sebagai risiko
yang timbul akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan
peraturan perundangundangan dan ketentuan
yang berlaku, termasuk
prinsip syariah bagi
bank umum syariah dan unit usaha
syariah.
Secara
lebih luas lagi,
ketidak patuhan perbankan
nasional berpengaruh secara significant terhadap stabilitas
perekonomian nasional. Kisruh krisis multidimensi yang melanda Indonesia mulai
pertengahan tahun 1997 beberapa tahun lampau adalah bukti nyata. Pakar
perbankan menjelaskan bahwa
kelalaian perbankan nasional
dalam menjalankan peran dan
fungsi kepatuhan yang
inheren dengan sistem
perbankan nasional saat itu, seperti :
1. Pengawasan
Intern yang kurang memadai
2. Pelanggaran
oleh pemilik/manajemen bank
3. Kurangnya
ketaatan terhadap ketentuan kehati-hatian
4. Kecerobohan
dalam mengelola bisnis
5. Berbagai
penyimpangan yang disengaja; semua itu memberikan dampak yang sangat besar
terhadap kehancuran perekonomian nasional secara keseluruhan
B.
Definisi
Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan
dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya
seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari
diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara
genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang
berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa
budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya
bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak
kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan
ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi
budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan
oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra
yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti
“individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” d Jepang
dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut
membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan
menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya
yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan
hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu
kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan
memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
C.
Pengertian
Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan
masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa
segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang
dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah
Cultural-Determinism.
Herskovits
memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke
generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas
Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial,
ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan
lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan
dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh
pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat
pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia
sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat
nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia
dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.
C.
Cara pandang terhadap kebudayaan
1.
Kebudayaan Sebagai Peradaban
Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan “budaya”
yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang
“budaya” ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan
kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap ‘kebudayaan’ sebagai
“peradaban” sebagai lawan kata dari “alam”. Menurut cara pikir ini, kebudayaan
satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti
lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.
Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada
benda-benda dan aktivitas yang “elit” seperti misalnya memakai baju yang
berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata
berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan
mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika
seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang “berkelas”, elit,
dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang
kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang
yang sudah “berkebudayaan”.
Orang yang menggunakan kata “kebudayaan” dengan cara
ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa
kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh
dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda
dengan mereka yang “berkebudayaan” disebut sebagai orang yang “tidak
berkebudayaan”; bukan sebagai orang “dari kebudayaan yang lain.” Orang yang “tidak
berkebudayaan” dikatakan lebih “alam,” dan para pengamat seringkali
mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk
menekan pemikiran “manusia alami” (human nature)
Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah
menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi
perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan
interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang
merusak dan “tidak alami” yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar
manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat
kelas pekerja) dianggap mengekspresikan “jalan hidup yang alami” (natural way
of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.
Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk
memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah
berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap “tidak
elit” dan “kebudayaan elit” adalah sama – masing-masing masyarakat memiliki
kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan
beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur,
yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak
orang.
2. Kebudayaan sebagai “sudut
pandang umum”
Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman,
khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme – seperti misalnya
perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari
etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria – mengembangkan sebuah
gagasan kebudayaan dalam “sudut pandang umum”. Pemikiran ini menganggap suatu
budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing.
Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini
masih mengakui adanya pemisahan antara “berkebudayaan” dengan “tidak
berkebudayaan” atau kebudayaan “primitif.”
Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah
memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori
evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi
bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.
Pada tahun 50-an, subkebudayaan – kelompok dengan
perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya – mulai dijadikan subyek
penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi
ide kebudayaan perusahaan – perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja
organisasi atau tempat bekerja.
D. Prinsip Manajemen Risiko
Kepatuhan Basel
Untuk melaksanakan manajemen risiko kepatuhan dengan
baik maka Basel Commitee on Banking Supervision telah merekomendasikan 10
(sepuluh) prinsip, yang intinya dapat dijelaskan, sebagai berikut:
Tanggung
Jawab Board of Director (BoD), yang meliputi:
Prinsip 1 : BoD Bank bertanggung jawab mengatur
manajemen risiko kepatuhan bank. BoD
harus menyetujui kebijakan kepatuhan bamk, termasuk mengembangkan dokumen resmi
dan fungsi kepatuhan secara efektif. Selama periode satu tahun, BoD dan/atau
komite pada tingkat Direksi harus menilai bagaimana bank mengelola risiko
kepatuhan secara efektif.
Tanggung
Jawab Pejabat Eksekutif, yang meliputi:
Prinsip 2 : Pejabat Eksekutif bank bertanggungjawab
terhadap pengelolaan risiko kepatuhan bank yang efektif
Prinsip 3 : Pejabat Eksekutif bank bertanggungjawab
untuk mengembangkan dan mengkomunikasikan kebijakan kepatuhan untuk memastikan
bahwa hal tersebut sudah dipantau dan dievaluasi serta dilaporkan kepada BoD
sebagai suatu upaya untuk mengelola risiko kepatuhan bank.
Prinsip 4 : Pejabat eksekutif bank bertanggungjawab
untuk membuat fungsi kepatuhan secara efektif dan permanen sebagai bagian dari
kebijakan kepatuhan bank.
Tanggungjawab
Unit Fungsi Kepatuhan yang meliputi:
Prinsip 5 : Fungsi kepatuhan bank harus independen
Prinsip 6 : Fungsi kepatuhan bank harus memiliki
sumber daya yang memadai untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya secara
efektif
Prinsip 7 : Tanggungjawab fungsi kepatuhan bank
harus dapat membantu pejabat eksekutif dalam mengelola risiko kepatuhan secara
efektif yang dihadapi oleh bank. Jika terdapat beberapa tanggung jawab yang
harus dilakukan oleh pegawai yang berbeda divisi, pembagian tanggung jawab
setiap divisi harus jelas.
Prinsip 8 : Hubungan antara internal audit yang
harus memperhatikan ruang lingkup yang luas dari aktifitas fungsi kepatuhan
sehingga harus menjadi subjek review secara periodik yang dilakukan oleh fungsi
internal audit
Tanggungjawab
Lainnya meliputi
Prinsip 9 : Issue lintas negara, dimana Bank harus
patuh terhadap pelaksanaan hukum dan regulasi-regulasi dalam semua area
yuridiksi dimana bisnis dijalankan dan organisasi, struktur fungsi kepatuhan,
dan semua tanggung jawabnya haruslah konsisten dengan semua hukum lokal dan
persyaratan regulator
Prinsip 10 : Terkait dengan outsourching maka fungsi
kepatuhan harus selaras dengan aktivitas manajemen risiko bank. Tugas spesifik
dari fungsi kepatuhan dapat dioutsourchingkan, tetapi harus berkenaan dengan
hal-hal yang dapat diawasi oleh kepala divisi kepatuhan.
Prinsip-prinsip tersebut telah dijadikan acuan
dan/atau berlaku bagi perbankan dunia secara global dan universal. Namun
demikian, suatu hal yang sangat penting untuk dipahami bersama adalah ke 10
prinsip kepatuhan itu merupakan prinsip umum yang harus dijadikan acuan ketika
melaksanakan peran dan fungsi kepatuhan dalam bisnis perbankan. Namun demikian,
harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di suatu negara dan/atau pada
suatu bank secara lebih spesifik. Fungsi kepatuhan akan membutuhkan penyesuaian
pada setiap institusi. Proposal Basel Commitee lebih mudah diaplikasikan pada
bank-bank internasional yang besar, issue kepatuhan (seakan-akan) kurang
relevan terhadap institusi-institusi yang kecil, termasuk institusi yang paling
kecil, harus menyesuaikan dengan risiko kepatuhan, meskipun dengan cara
masing-masing. Kalangan perbankan haruslah memahaminya sebagai general
application yang diterapkan pada sebuah hukum yang spesifik dan kerangka kerja
regulator.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fungsi Kepatuhan
adalah serangkaian tindakan
atau langkah-langkah yang
bersifat ex-ante (preventif) untuk
memastikan bahwa kebijakan,
ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang
dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, termasuk sesuai dengan
Prinsip Syariah (bagi
Bank Umum Syariah
dan Unit Usaha
Syariah), serta memastikan
kepatuhan Bank terhadap komitmen yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia
dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.
B. Saran
Dengan selesainya penuisan makalah ini, penulis
menyarankan kepada pembaca agar dapat lebih meningkatkan kesadaran dalam hal
ini mematuhi setiap-setiap aturan yang berlaku khususya dalam hal penganalisaan
dan penerapan hukum-hukum yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, 2007. Sikap Manusia dan Pengukurannya.
Jakarta : PT. Rineka Cipta
Degresi. 2005. Ilmu Perilaku
Manusia. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Effendy. 2005. Keperawatan
Keluarga. JAKARTA : EGC
Niven. 2008. Psikologi Kesehatan
: Pengantar Untuk Perawat Dan Profesional. Jakarta : EGC
Notoatmodjo. 2007. Promosi
Kesehatan Ilmu Dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta
Pranoto. 2007. Ilmu Kebidanan.
Yogyakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
0 komentar:
Posting Komentar