Senin, 17 Oktober 2016

BUDAYA BERDASARKAN KEPATUHAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Banyak berbagai definisi tentang kebudayaan yang telah di paparkan oleh para ahli. Dari berbagai definisi dapat diperoleh kesimpulan mengenai pengertian kebudayaan yaitu sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Kata budaya atau kebudayaan itu sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Secara lebih rinci, banyak hal-hal yang dapat kita pelajari tentang definisi kebudayaan. Bagaimana cara pandang kita terhadap kebudayaan, serta bagaimana cara untuk menetrasi kebudayaan yang faktanya telah mempengaruhi kebudayaan lain.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah dari makalah ini adalah bagaimana Hubungan Budaya berdasarkan kepatuhan ?

C.    Tujuan dan Manfaat Penulisan Makalah
Adapun tujuan dan manfaat penulisan makalah ini adalah untuk mengatahui dan menjelaskan mengenai budaya berdasarkan keptahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Fungsi Kepatuhan
Fungsi  Kepatuhan  adalah  serangkaian  tindakan  atau  langkah-langkah  yang  bersifat ex-ante  (preventif)  untuk  memastikan  bahwa  kebijakan,  ketentuan,  sistem,  dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank  Indonesia  dan  peraturan  perundang-undangan  yang  berlaku,  termasuk  sesuai dengan  Prinsip  Syariah  (bagi  Bank  Umum  Syariah  dan  Unit  Usaha  Syariah),  serta memastikan kepatuhan  Bank terhadap komitmen  yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.
Pokok  pokok  pengaturan  Peraturan  Bank  Indonesia  (PBI)  Pelaksanaan  Fungsi Kepatuhan Pada Bank Umum adalah:
a.       Fungsi  kepatuhan  merupakan  bagian  dari  pelaksanaan  framework  manajemen risiko.  Fungsi  kepatuhan  melakukan  pengelolaan  risiko  kepatuhan  melalui koordinasi dengan satkerterkait.
b.      Pelaksanaan fungsi kepatuhan menekankan pada peran aktif dari seluruh elemen organisasi  kepatuhan  yang  terdiri  dari  Direktur  yang  membawahkan  Fungsi Kepatuhan,  Kepala  unit  kepatuhan  dan  satuan  kerja  kepatuhan  untuk  mengelola risiko kepatuhan.
c.       Menekankan pada terwujudnya budaya kepatuhan dalam rangka mengelola risiko kepatuhan.
d.      Kepatuhan merupakan tanggung jawab personil seluruh bagian dari bank dengan tone from the top.
e.       Status  independensi  yang  disandang  dari  elemen  organisasi  fungsi  kepatuhan dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan tugas dan menghindari konflik kepentingan (conflict of interest).
Kepatuhan terhadap hukum, norma-norma dan aturan-aturan membantu memelihara reputasi  bank-bank,  sehingga  sesuai  dengan  harapan  dari  para  nasabah,  pasar  dan masyarakat  secara  keseluruhan. kepatuhan akan berhadapan langsung dengan apa yang dikenal dengan compliance risk yang didefiniska oleh Basel Commitee  on Banking Supervision sebagai  risiko hukum atau  sanksi-sanksi  hukum,  kerugian  keuangan/materi  atau  tercermarnya  reputasi  bank sebagai  akibat  dari  pelanggaran  terhadap  hukum,  regulasi-regulasi,  aturan-aturan, dihubungkan dengan norma-norma organisasi yang  menjadi aturan internal suatu bank.
Sementara  Bank  Indonesia  (BI)  mendefiniskan  risiko  kepatuhan  sebagai  risiko  yang timbul akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundangundangan  dan  ketentuan  yang  berlaku,  termasuk  prinsip  syariah  bagi  bank  umum syariah dan unit usaha syariah.
Secara  lebih  luas  lagi,  ketidak  patuhan  perbankan  nasional  berpengaruh  secara significant terhadap stabilitas perekonomian nasional. Kisruh krisis multidimensi yang melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997 beberapa tahun lampau adalah bukti nyata.  Pakar  perbankan  menjelaskan  bahwa  kelalaian  perbankan  nasional  dalam menjalankan  peran  dan  fungsi  kepatuhan  yang  inheren  dengan  sistem  perbankan nasional saat itu, seperti :
1.      Pengawasan Intern yang kurang memadai
2.      Pelanggaran oleh pemilik/manajemen bank
3.      Kurangnya ketaatan terhadap ketentuan kehati-hatian
4.      Kecerobohan dalam mengelola bisnis
5.      Berbagai penyimpangan yang disengaja; semua itu memberikan dampak yang sangat besar terhadap kehancuran perekonomian nasional secara keseluruhan

B.     Definisi Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.

C.    Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Menurut Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.



C. Cara pandang terhadap kebudayaan
      1. Kebudayaan Sebagai Peradaban
Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan “budaya” yang dikembangkan di Eropa pada abad ke-18 dan awal abad ke-19. Gagasan tentang “budaya” ini merefleksikan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap ‘kebudayaan’ sebagai “peradaban” sebagai lawan kata dari “alam”. Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan; salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya.
Pada prakteknya, kata kebudayaan merujuk pada benda-benda dan aktivitas yang “elit” seperti misalnya memakai baju yang berkelas, fine art, atau mendengarkan musik klasik, sementara kata berkebudayaan digunakan untuk menggambarkan orang yang mengetahui, dan mengambil bagian, dari aktivitas-aktivitas di atas. Sebagai contoh, jika seseorang berpendendapat bahwa musik klasik adalah musik yang “berkelas”, elit, dan bercita rasa seni, sementara musik tradisional dianggap sebagai musik yang kampungan dan ketinggalan zaman, maka timbul anggapan bahwa ia adalah orang yang sudah “berkebudayaan”.
Orang yang menggunakan kata “kebudayaan” dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa kebudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda dengan mereka yang “berkebudayaan” disebut sebagai orang yang “tidak berkebudayaan”; bukan sebagai orang “dari kebudayaan yang lain.” Orang yang “tidak berkebudayaan” dikatakan lebih “alam,” dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi (high culture) untuk menekan pemikiran “manusia alami” (human nature)
Sejak abad ke-18, beberapa kritik sosial telah menerima adanya perbedaan antara berkebudayaan dan tidak berkebudayaan, tetapi perbandingan itu -berkebudayaan dan tidak berkebudayaan- dapat menekan interpretasi perbaikan dan interpretasi pengalaman sebagai perkembangan yang merusak dan “tidak alami” yang mengaburkan dan menyimpangkan sifat dasar manusia. Dalam hal ini, musik tradisional (yang diciptakan oleh masyarakat kelas pekerja) dianggap mengekspresikan “jalan hidup yang alami” (natural way of life), dan musik klasik sebagai suatu kemunduran dan kemerosotan.
Saat ini kebanyak ilmuwan sosial menolak untuk memperbandingkan antara kebudayaan dengan alam dan konsep monadik yang pernah berlaku. Mereka menganggap bahwa kebudayaan yang sebelumnya dianggap “tidak elit” dan “kebudayaan elit” adalah sama – masing-masing masyarakat memiliki kebudayaan yang tidak dapat diperbandingkan. Pengamat sosial membedakan beberapa kebudayaan sebagai kultur populer (popular culture) atau pop kultur, yang berarti barang atau aktivitas yang diproduksi dan dikonsumsi oleh banyak orang.

2. Kebudayaan sebagai “sudut pandang umum”
Selama Era Romantis, para cendekiawan di Jerman, khususnya mereka yang peduli terhadap gerakan nasionalisme – seperti misalnya perjuangan nasionalis untuk menyatukan Jerman, dan perjuangan nasionalis dari etnis minoritas melawan Kekaisaran Austria-Hongaria – mengembangkan sebuah gagasan kebudayaan dalam “sudut pandang umum”. Pemikiran ini menganggap suatu budaya dengan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara “berkebudayaan” dengan “tidak berkebudayaan” atau kebudayaan “primitif.”
Pada akhir abad ke-19, para ahli antropologi telah memakai kata kebudayaan dengan definisi yang lebih luas. Bertolak dari teori evolusi, mereka mengasumsikan bahwa setiap manusia tumbuh dan berevolusi bersama, dan dari evolusi itulah tercipta kebudayaan.
Pada tahun 50-an, subkebudayaan – kelompok dengan perilaku yang sedikit berbeda dari kebudayaan induknya – mulai dijadikan subyek penelitian oleh para ahli sosiologi. Pada abad ini pula, terjadi popularisasi ide kebudayaan perusahaan – perbedaan dan bakat dalam konteks pekerja organisasi atau tempat bekerja.


D. Prinsip Manajemen Risiko Kepatuhan Basel
Untuk melaksanakan manajemen risiko kepatuhan dengan baik maka Basel Commitee on Banking Supervision telah merekomendasikan 10 (sepuluh) prinsip, yang intinya dapat dijelaskan, sebagai berikut:
Tanggung Jawab Board of Director (BoD), yang meliputi:
Prinsip 1 : BoD Bank bertanggung jawab mengatur manajemen risiko  kepatuhan bank. BoD harus menyetujui kebijakan kepatuhan bamk, termasuk mengembangkan dokumen resmi dan fungsi kepatuhan secara efektif. Selama periode satu tahun, BoD dan/atau komite pada tingkat Direksi harus menilai bagaimana bank mengelola risiko kepatuhan secara efektif.
Tanggung Jawab Pejabat Eksekutif, yang meliputi:
Prinsip 2 : Pejabat Eksekutif bank bertanggungjawab terhadap pengelolaan risiko kepatuhan bank yang efektif
Prinsip 3 : Pejabat Eksekutif bank bertanggungjawab untuk mengembangkan dan mengkomunikasikan kebijakan kepatuhan untuk memastikan bahwa hal tersebut sudah dipantau dan dievaluasi serta dilaporkan kepada BoD sebagai suatu upaya untuk mengelola risiko kepatuhan bank.

Prinsip 4 : Pejabat eksekutif bank bertanggungjawab untuk membuat fungsi kepatuhan secara efektif dan permanen sebagai bagian dari kebijakan kepatuhan bank.

Tanggungjawab Unit Fungsi Kepatuhan yang meliputi:
Prinsip 5 : Fungsi kepatuhan bank harus independen
Prinsip 6 : Fungsi kepatuhan bank harus memiliki sumber daya yang memadai untuk menjalankan tugas dan tanggungjawabnya secara efektif
Prinsip 7 : Tanggungjawab fungsi kepatuhan bank harus dapat membantu pejabat eksekutif dalam mengelola risiko kepatuhan secara efektif yang dihadapi oleh bank. Jika terdapat beberapa tanggung jawab yang harus dilakukan oleh pegawai yang berbeda divisi, pembagian tanggung jawab setiap divisi harus jelas.
Prinsip 8 : Hubungan antara internal audit yang harus memperhatikan ruang lingkup yang luas dari aktifitas fungsi kepatuhan sehingga harus menjadi subjek review secara periodik yang dilakukan oleh fungsi internal audit
Tanggungjawab Lainnya meliputi
Prinsip 9 : Issue lintas negara, dimana Bank harus patuh terhadap pelaksanaan hukum dan regulasi-regulasi dalam semua area yuridiksi dimana bisnis dijalankan dan organisasi, struktur fungsi kepatuhan, dan semua tanggung jawabnya haruslah konsisten dengan semua hukum lokal dan persyaratan regulator
Prinsip 10 : Terkait dengan outsourching maka fungsi kepatuhan harus selaras dengan aktivitas manajemen risiko bank. Tugas spesifik dari fungsi kepatuhan dapat dioutsourchingkan, tetapi harus berkenaan dengan hal-hal yang dapat diawasi oleh kepala divisi kepatuhan.
Prinsip-prinsip tersebut telah dijadikan acuan dan/atau berlaku bagi perbankan dunia secara global dan universal. Namun demikian, suatu hal yang sangat penting untuk dipahami bersama adalah ke 10 prinsip kepatuhan itu merupakan prinsip umum yang harus dijadikan acuan ketika melaksanakan peran dan fungsi kepatuhan dalam bisnis perbankan. Namun demikian, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi di suatu negara dan/atau pada suatu bank secara lebih spesifik. Fungsi kepatuhan akan membutuhkan penyesuaian pada setiap institusi. Proposal Basel Commitee lebih mudah diaplikasikan pada bank-bank internasional yang besar, issue kepatuhan (seakan-akan) kurang relevan terhadap institusi-institusi yang kecil, termasuk institusi yang paling kecil, harus menyesuaikan dengan risiko kepatuhan, meskipun dengan cara masing-masing. Kalangan perbankan haruslah memahaminya sebagai general application yang diterapkan pada sebuah hukum yang spesifik dan kerangka kerja regulator.



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
 Fungsi  Kepatuhan  adalah  serangkaian  tindakan  atau  langkah-langkah  yang  bersifat ex-ante  (preventif)  untuk  memastikan  bahwa  kebijakan,  ketentuan,  sistem,  dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan oleh Bank telah sesuai dengan ketentuan Bank  Indonesia  dan  peraturan  perundang-undangan  yang  berlaku,  termasuk  sesuai dengan  Prinsip  Syariah  (bagi  Bank  Umum  Syariah  dan  Unit  Usaha  Syariah),  serta memastikan kepatuhan  Bank terhadap komitmen  yang dibuat oleh Bank kepada Bank Indonesia dan/atau otoritas pengawas lain yang berwenang.

B.     Saran
Dengan selesainya penuisan makalah ini, penulis menyarankan kepada pembaca agar dapat lebih meningkatkan kesadaran dalam hal ini mematuhi setiap-setiap aturan yang berlaku khususya dalam hal penganalisaan dan penerapan hukum-hukum yang berlaku.



DAFTAR PUSTAKA

 Azwar, 2007. Sikap Manusia dan Pengukurannya. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Degresi. 2005. Ilmu Perilaku Manusia. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Effendy. 2005. Keperawatan Keluarga. JAKARTA : EGC
Niven. 2008. Psikologi Kesehatan : Pengantar Untuk Perawat Dan Profesional. Jakarta : EGC
Notoatmodjo. 2007. Promosi Kesehatan Ilmu Dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta
Pranoto. 2007. Ilmu Kebidanan. Yogyakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

0 komentar:

Posting Komentar