Selasa, 18 Oktober 2016

hukum ketenagakerjaan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Mewujudkan masyarakat adil dan makmur adalah salah satu tujuan Indonesia merdeka. Oleh karena itu negara mempunyai kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya secara adil. Salah satu instrumen perwujudan keadilan dan kesejahteraan itu adalah hukum. Melalui hukum, negara berupaya mengatur hubungan-hubungan antara orang perorang atau antara orang dengan badan hukum. Pengaturan ini dimaksudkan supaya jangan ada penzaliman dari yang lebih kuat kepada yang lemah, sehingga tercipta keadilan dan ketentraman di tengah-tengah masyarakat.
Salah satu peraturan yang dibuat oleh pemerintah adalah peraturan yang mengatur hubungan seseorang di dunia kerja. Pakta menunjukkan bahwa banyak sekali orang yang bekerja pada orang lain ataupun bekerja pada perusahaan. Oleh sebab itu hubungan kerja antara seorang pekerja dengan majikannya atau antara pekerja dengan badan usaha perlu diatur sedemikian rupa supaya tidak terjadi kesewenang-wenangan yang bisa merugikan salah satu pihak.

B.       Rumusan Masalah
1.      Dasar hukum ketenagakerjaan
2.      Hak dan kewajiban pekerja
3.      Hak dan kewajiban pengusaha
4.      Tata kelola Pengupahan pekerja sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan

C.     Tujuan
1.        Untuk mengetahui Undang-Undang tentang ketenagakerjaan
2.        Untuk mengetahui hak dan kewajiban sebagai karyawan/pekerja
3.        Untuk mengetahui hak dan kewajiban sebagai pengusaha
4.        Untuk mengetahui syarat dan ketentuan mendapatkan upah layak bagi penghidupan kemanusian tenaga kerja

  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dasar Hukum Ketenagakerjaan dan Istilah-Istilah yang menyertainya.
Dasar hukum tentang ketenagakerjaan di Negara Indonesia adalah UU No. 13 tahun 2003. Di dalam BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1 UU No. 13 tahun 2003 terdapat beberapa istilah seperti ketenagakerjaan, tenaga kerja,pekerja, pengusaha, perusahaan,  perjanjian kerja, hubungan kerja, dan upah.
Tenaga kerja disebutkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.” Sedangkan pengertian dari ketenagakerjaan sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.”
Dalam Pasal 1 angka 3, pekerja/buruh ditafsirkan sebagai “setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Dalam Pasal 1 angka 5,  pengusaha juga memiliki beberapa arti yaitu sebagai “orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.” atau “orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya” atau “orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.”
Dalam Pasal 1 angka 6, perusahaan adalah “setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain” atau “usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.”
Dalam Pasal 1 angka 14, perjanjian kerja adalah “perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.”
Dalam Pasal 1 angka 15, hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkanperjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.  Dalam Pasal 1 angka 30, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundangundangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Dalam Pasal 1 angka 31, kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.

B.     Hak dan Kewajiban sebagai Pekerja.
v  Kewajiban-Kewajiban sebagai Pekerja tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 antara lain :
1.      Pasal 102 ayat ( 2 ) : Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja dan serikat pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan keWajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokrasi, mengembangkan keterampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya
2.      Pasal 126 ayat ( 1 ) : Pengusaha, serikat pekerja dan pekerja Wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama
3.      Pasal 126 ayat ( 2 ) : Pengusaha dan serikat pekerja Wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau perubahannya kepada seluruh pekerja 
4.      Pasal 136 ayat ( 1 ) : Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Wajibdilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja secara musyawarah untuk mufakat
5.      Pasal 140 ayat ( 1 ) : Sekurang kurangnya dalam waktu 7 (Tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja dan serikat pekerja Wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat

v  Hak-hak sebagai pekerja tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 antara lain :

1.      Pasal 5  : Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan
2.      Pasal 6 : Setiap pekerja berHak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha
3.      Pasal 11 : Setiap tenaga kerja berHak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan kerja
4.      Pasal 12 ayat  (3) : Setiap pekerja memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja sesuai dengan bidang tugasnya
5.      Pasal  18 ayat (1) : Tenaga kerja berHak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta atau pelatihan ditempat kerja
6.      Pasal 23 : Tenaga kerja yang telah mengikuti program pemagangan berHak atas pengakuan kualifikasi kompetensi kerja dari perusahaan atau lembaga sertifikasi
7.      Pasal 31 : Setiap tenaga kerja mempunyai Hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak didalam atau diluar negeri
8.      Pasal 67 : Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya
9.      Pasal 78 ayat (2) : Pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (1) wajib membayar upah  kerja lembur
10.  Pasal 79 ayat (1) : Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja
11.  Pasal  80 : Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya
12.  Pasal 82 : Pekerja perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (Satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan
13.  Pasal 84 : Setiap pekerja yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c dan d, Pasal 80 dan Pasal 82 berHakmendapatkan upah penuh
14.  Pasal 85 ayat (1) :  Pekerja tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi
15.  Pasal 86 ayat (1) : Setiap pekerja mempunyai Hak untuk memperoleh perlindungan atas : Keselamatan dan kesehatan kerja, Moral dan kesusilaan dan Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama
16.  Pasal 88 : Setiap pekerja berHak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
17.  Pasal 90 : Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari  upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89
18.  Pasal 99 ayat (1) : Setiap pekerja dan keluarganya berHak untuk memperoleh jaminan sosial  tenaga kerja
19.  Pasal 104 ayat (1) : Setiap pekerja berHak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja
20.  Pasal 137 : Mogok kerja sebagai Hak dasar pekerja dan serikat pekerja dilakukan secara sah, tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan
21.  Pasal 156 ayat ( 1 ) : Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta uang penggantiHak yang seharusnya diterima

C.    Hak dan Kewajiban sebagai Pengusaha
v  Kewajiban-Kewajiban sebagai Pengusaha tertuang dalam UU No. 13 Tahun 2003 antara lain :
1.      Memperkerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan garis dan derajat kecacatan nya.(Pasal 67 ayat 1UU No 13 tahun 2003) 
2.      Pengusaha wajib memberikan/ menyediakan angkutan antar Jemput Bagi Pekerja /Buruh Perempuan yang berangkat dan pulang pekerja antara pukul 23.00 s.d pukul 05.00(Pasal 76 (5) UU No.13 Tahun 2003) 
3.      Setiap Pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. (Pasal 77 ayat (1) s.d (4) (UU Ketenagakerjaan ) 
4.      Pengusaha wajib Memberi Waktu Istirahat Dan Cuti Kepada Pekerja/Buruh (Pasal 79 UU ketenaga kerjaan) 
5.      Pengusaha Wajib memberikan Kesempatan Secukupnya Kepada Pekerja Untuk Melaksanakan Ibadah yang diwajibkan Oleh Agamanya (Pasal 80 UU Ketenagakerjaan) 
6.      Pengusaha yang memperkerjakan Pekerja / Buruh Yang melakukan pekerja Untuk Melaksanakan Ibadah yang Di wajib kan oleh agama nya (Pasal 80 UU Ketenagakerjaan)
7.      Pengusaha Yang Memperkerjakan Pekerja /Buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagai mana di maksud pada ayat (2) Wajib membayar Upah kerja lembur (Pasal 85 (3) UU Ketenagakerjaan ) 
8.      Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurang nya 10 (Sepuluh orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh mentri atau pejabat yang ditunjuk (Pasal 108 (1) UU Ketenagakerjaan . 
9.      Pengusaha Wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh . 
10.  Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja /serikat buruh,serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan setempat sekurang-kurang nya 7(Tujuh) hari kerja (Pasal 148 UU Ketenaga kerjaan) 
11.  Dalam Hal terjadi pemutusan Kerja pengusah di wajib kan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (pasal 156 (1) UU ketenagakerjaan) 
12.  Dalam hal pekerja /buruh di tahan pihak yang berwajib karena di duga melakukan tindak pidana bukan bukan atas pengaduan pengusaha,maka pengusaha tidak wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja,buruh yang menjadi tanggungannya. (Pasal 160 ayat (1) UU ketenagakerjaan) 
13.  Pengusaha wajib membayar kepada pekerja ,buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana di maksud pada ayat (3)dan ayat (5),  uang penghargaan masa kerja 1(satu) kali ketentuan pasal 156 ayat (4) 
14.  Untuk Pengusaha di larang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana di maksud dalam pasal 89 (Pasal 90 UU Ketenagakerjaan) 
15.  Pengusaha Wajib MembayarUpah/pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 91 UU Ketenagakerjaan ) 
16.  Kewajiban Pengusaha lainnya bisa dilihat dalam pasal 33 ayat (2) UU ketenagakerjaan 

D.    Tata kelola Pengupahan pekerja sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
1.      Cakupan Pengupahan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) pada Bab 10 mengatur tentang Pengupahan. Menurut Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kebijakan pemerintah mengenai pengupahan yang melindungi pekerja/buruh meliputi:
a). upah minimum;
b). upah kerja lembur;
c). upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d). upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e). upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f). bentuk dan cara pembayaran upah
g). denda dan potongan upah;
h). hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i). struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j). upah untuk pembayaran pesangon; dan
k). upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 89 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa upah minimum ditetapkan pemerintah berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah minimum dapat terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.

2.      Larangan dalam Pengupahan
Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 89 UU Ketenagakerjaan. Dalam hal pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum yang telah ditentukan tersebut, dapat dilakukan penangguhan yang tata cara penangguhannya diatur dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum.
Kemudian, pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika kesepakatan tersebut lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3.      Struktur Skala Upah
Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Peninjauan upah secara berkala tersebut dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Ketentuan mengenai struktur dan skala upah diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : KEP.49/MEN/2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah.

4.      Kewajiban Pembayaran Upah
Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. Namun, pengusaha wajib membayar upah apabila:
a) pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b) pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c) pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e) pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f) pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g) pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h) pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i)  pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.
Pengaturan pelaksanaan ketentuan di atas, ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama.

5.      Perhitungan Upah Pokok
Dalam hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap, maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap.
6.      Sanksi
Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda. Kemudian, pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh. Pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah diatur oleh Pemerintah.
Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

7.      Kadaluarsa
            Tuntutan pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja menjadi kadaluarsa, setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak timbulnya hak. Ketentuan mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup yang layak, dan perlindungan pengupahan, penetapan upah minimum, dan pengenaan denda diatur dengan Peraturan Pemerintah.

E.     Kasus
Dalam makalah ini kami akan mengambil satu kasus yang dialami oleh Sdr. SP dan Sdr. MBU sebagai pekerja serta PT.AI sebagai Pengusaha. Dalam kasus ini pihak pekerja merasa telah dirugikan oleh pihak pengusaha dalam urusan pembayaran upah khususnya upah lembur. Pihak pekerja selama ini tidak mendapatkan bayaran upah atas pekerjaan yang telah dilakukan di luar jam kerja wajib atau lebih dikenal dengan lembur.
Dalam kasus ini pihak pengusaha tidak memenuhi salah satu kewajibannya sebagai pemberi kerja yaitu pihak yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dengan bentuk lain. Pihak pekerja telah memenuhi segala ketentuan perusahaan dengan bersedia untuk melakukan kerja lembur maupun perjalanan dinas untuk pekerjaan di luar kota. Namun begitu, pihak pengusaha tidak memberikan upah lembur sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Upaya-upaya telah dikerahkan oleh pihak pekerja untuk menuntut hak mereka. Mulai dari berbicara dengan atasan langsung hingga menghadap ke Departemen HRD PT. AI sebagai pihak perwakilan perusahaan yang mengurusi permasalahan karyawan. Walaupun begitu hasilnya nihil. Pihak perusahaan berdalih jika pembayaran upah lembur dan perjalanan dinas telah digabungkan dalam pembayaran gaji bulanan pekerja. Menurut perusahaan, pihak pekerja telah setuju dengan kesepakatan tersebut sebelumnya dengan bukti penandatanganan perjanjian kerja di awal jenjang karir.
Faktanya, dalam pembayaran gaji pekerja memang hanya menyertakan 2 komponen upah yaitu Gaji pokok dan Tunjangan mutasi. Jelas ini merupakan pelanggaran yag dilakukan oleh pengusaha dalam menunaikan kewajibannya dan memberikan hak-hak pekerjanya yang tertuang dalam pasal 78 ayat (1) UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Dalam pasal itu disebutkan bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh (karyawan) melebihi ketentuan waktu kerja normal sesuai dengan pola waktu kerja yang ditentukan (dalam Pasal 77 ayat [2] UUK) wajib membayar upah kerja lembur sesuai peraturan perundang-undangan (yakni pasal 78 ayat [2] dan ayat [3] dan pasal 11 jo. pasal 10 dan pasal 8 Kepmenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur).
Ketentuan waktu kerja lembur dan upah kerja lembur tersebut, tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. Berdasarkan pasal 78 ayat (4) UUK untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu diatur lebih lanjut secara khusus oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Namun, hingga saat ini pengaturan mengenai ketentuanwaktu kerja/waktu kerja lembur serta upah kerja lembur bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu, baru ada 2 (dua)Peraturan,yakni:

1. Kepmenakertrans. No. 234/Men/2003 tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Sektor Usaha Energi dan Sumber Daya Mineral Pada Daerah Tertentu.
2. Permenakertrans. No. 15/Men/VII/2005 tentang Waktu Kerja dan Waktu Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu.
Sedangkan untuk sektor usaha atau pekerjaan tertentu lainnya yang hingga saat ini belum diatur secara khusus, dapat diperjanjikan oleh para pihak dalam Perjanjian Kerja (PK) dan Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan tetap mengindahkan ketentuan umum, yaitu:                  

a.       Maksimum 7 jam per-hari untuk pola waktu kerja 6:1 atau maksimum 8 jam per-hari untuk pola waktu kerja 5:2 (Pasal 77 ayat (2) UUK;
b.      Apabila melebihi ketentuan waktu kerja yang ditentukan sebagaimana tersebut, wajib diperhitungkan sebagai waktu kerja lembur dengan hak memperoleh upah kerja lembur.;
c.       Pelaksanaan waktu kerja lembur, harus memenuhi syarat-syarat, antara lain : persetujuan (masing-masing) dari pekerja yang bersangkutan; waktu kerja lembur hanya maksimum 3 (tiga) jam per-hari (untuk lembur pada hari kerja; dan komulatif waktu kerja lembur per-minggu maksimum 14 jam, kecuali lembur dilakukan pada waktu hari istirahat mingguan/hari libur resmi (Pasal 78 ayat (1) UUK jo Pasal 3 ayat (2) Kepmenakertrans No. KEP-102/MEN/VI/2004. 

Pada dasarnya, ketentuan mengenai lembur secara umum telah diatur dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”). Dalam pasal ini disebutkan:
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a.       7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b.      8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. (3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu. (4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
            Adapun aturan khusus yang mengatur mengenai waktu kerja lembur dan upah kerja lembur adalah Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur (“Kepmenakertrans 102/VI/2004”).
Menurut Pasal 1 Kepmenakertrans 102/VI/2004, waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 (tujuh) jam sehari dan 40 (empat puluh) jam 1(satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau 8 (delapan) jam sehari dan 40(empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau waktu kerja padahari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah. pada dasarnya pengusaha wajib mematuhi ketentuan waktu kerja yang disebut dalam Pasal 77 UU Ketenagakerjaan dan apabila melebihi waktu-waktu yang disebut dalam Pasal 1 Kepmenakertrans 102/VI/2004, maka dinamakan waktu kerja lembur.
            Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud di atas berdasarkan Pasal 78 ayat (1) UU Ketenagakerjaan harus memenuhi syarat:

Hal penting lainnya adalah lembur itu harus didasari oleh persetujuan karyawan yang bersangkutan dan pengusaha yang mempekerjakan karyawan melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur.
            Ini artinya, pemberian uang lembur dalam konteks pertanyaannya sifatnya bagi perusahaan tersebut adalah wajib. Pemberian upah lembur didasarkan pada lebihnya ketentuan waktu kerja yang seharusnya dan tidak dikaitkan dengan sudahnya upah karyawan di atas UMP.
Menurut Pasal 90 ayat (1) UU Ketenagakerjaan,  pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, baik upah minimum (UM) berdasarkan wilayah propinsi atau kabupaten kota(yang sering disebut Upah Minimum Regional, UMR) maupun upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah propinsi atau kabupaten/kota (Upah Minimum Sektoral, UMS). Dengan kata lain, dibayarnya upah karyawan yang sudah melebihi UMP tidak serta merta menghapuskan kewajiban perusahaan untuk memberi upah kerja lembur bagi karyawannya yang bekerja lembur.
Intinya adalah pekerja merasa sangat dirugikan karena dengan dan/atau tanpa melaksanakan kerja lembur akan tetap menerima upah yang sama.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dalam ringkasan Undang-undang tentang Ketenagakerjaan, Hak dan Kewajiban terhadap para tenaga kerja diatas dapat kita simpulkan, bahwa hubungan antara pengusaha dengan tenaga kerja haruslah diselingi dan diimbangi dengan adanya hak-hak dan kewajiban diantara keduanya supaya tidak terjadi kesetimpangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Oleh karena itu para tenaga kerja dan pengusaha selaku pemegang kekuasaan  haruslah patuh dan tunduk kepada aturan-aturan yang berlaku didalam ruang lingkup kerjanya (Perjanjian kerja)
Para tenaga kerja mempunyai beban kewajiban yang tidak dapat dipisahkan dalan status kerjanya, diantaranya para tenaga kerja harus menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokrasi, mengembangkan keterampilan dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta keluarganya, yang terpenting melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama. Dengan demikian maka para tenaga kerja akan secara otomatis mendapatkan hak-haknya selaku tenaga kerja diantaranya memperoleh perlakuan yang sama
Dalam hal pemberian upah pekerja maka perusahaan sebaiknya mempertimbangkan dan mematuhi peraturan tentang ketenagakerjaan yaitu mengacu kepada UU No.13 tahun 2003.
Perusahaan hendaknya memberikan upah yang penuh, baik itu gaji pokok, upah lembur, maupun tunjangan-tunjangan lain yang telah tersurat dalam peraturan tersebut. Hal ini juga hendaknya dipenuhi demi tercapainya kondisi kerja yang ideal bagi pengusaha dan pekerja demi mencapai kesejahteraan bersama.
Sebagai pekerja hendaknya kita juga memahami segala peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum bagi tenaga kerja. Agar kedepannya dapat menuntut hak-haknya secara penuh sebagai tenaga kerja apabila dikemudian hari ditemukan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pengusaha atau perusahaan.


B.     Saran
1.      Pekerja wajib mengetahui peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum tenaga kerja di Indonesia.
2.      Jangan ragu untuk berkomunikasi dengan pihak perusahaan jika dirasa ada hak-hak sebagai pekerja yang belum dipenuhi.
3.      Utamakan musyawarah dengan serikat pekerja jika dirasa perlu untuk membantu kelancaran proses mendapatkan hak-hak tersebut.
4.      Cermati segala poin yang tertuang dalam perjanjian kerja sebelum menyetujuinya dan tanyakan jika ada poin yang belum jelas kepada pihak perusahaan.



DAFTAR PUSTAKA

Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur

Manulang, SH., 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan kedua

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan



0 komentar:

Posting Komentar